-->
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kutemukan Filosofi Lima Jari di Yogyakarta

 DaftarBuat Artikel

 

 

 *****

Pukul 10.45 WIB. Saya dan rombongan tiba di Bandar Udara Internasional Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta ini berada di selatan Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri memiliki luas 3.185,80 km2. Daerah ini terdiri dari satu kota dengan empat kabupaten, yang masing-masing kabuptennya terbagi menjadi 78 kapanewon/kemantren dengan 438 kelurahan.

Setelah menghabiskan sebatang Rokok, selanjutnya dengan menggunakan Grab Saya dan rombongan bergegas menuju ke penginapan dengan terlebih dahulu sarapan. Pukul 11. 45 WIB kami semua tiba di Hotel yang terletak Jl. Prawirotaman, Brontokusuman, Kec. Mergangsan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setelah menaruh barang bawaan di dalam kamar masing-masing yang telah disediakan oleh Panitia, kami memutuskan untuk pergi dan mencicipi masakan khas Yogyakarta yang satu ini sebagai santap siang pertama di kota ini. Sebab kata panitia, belum syah datang ke Yogyakarta jika belum mencicipi makanan khas asal kota ini.

Makanan khas asal Jogja ini terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan menggunakan santan, warna cokelat pada makanan ini berasal dari daun jati yang dimasak bersama dengan nangka muda tadi. Selain nangka muda, biasanya Gudek ditambahkan dengan bahan pelengkap lainnya, seperti ayam, telur, kerecek atau lain sebagainya.

Pukul 12.18 WIB kami tiba di Rumah Makan Gudeg Djum Wijilan. Saya dan rombongan langsung mencari Meja kosong yang masih tersedia serta langsung memesan menu khas ditempat ini. Dan hem… untuk masalah rasa, Gudeg memang tidak bisa diragukan lagi, rasanya enak dan sedap dengan sensasi rasa manis dan gurih. Tapi Saya tidak menyangka bahwa masakan khas ini terasa begitu manis sekali. Pantesan gadis-gadis yang berasal dari kota ini terlihat begitu manis dan enak di pandang mata, hehehe…

 

*****

Setelah beberapa hari terkurung di dalam ruangan, mengikuti acara pelatihan, maka tibalah waktunya bagi kami bebas “berkeliaran” hari ini tanpa harus mengikuti arahan dari panitia acara pelatihan di kota ini.

Saya dan tiga orang teman segera memesan jasa transportasi berbasis online, Go-Car, kami ingin berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Di awal perjalanan menggunakan jasa transportasi berbasis online di kota ini kami mengobrol tentang banyak hal, terutama tentang Kota yang terkenal sebagai kota pelajar ini.

Di awal pembicaraan, pengemudi Go-Car yang ramah ini menanyakan daerah asal kami, mungkin terlihat bahwa kami memang bukan asli orang sini. Padahal Saya dan teman-teman lainnya itu sudah terbiasa berada ditempat baru. Hehehe.

“Kalau mas dari mana?” tanya pengemudi Go-Car yang kami naiki itu kepada teman yang duduk di kursi tengah paling pinggir sebelah kiri.

“Saya dari Kalimantan Pak. “ jawab temanku itu sambil tersenyum ramah.

“Kalau mas?” tanyanya pada yang duduk di sebelahnya,

“Saya dari Jambi.” jawabnya singkat.

“Kalau saya dari Kalimantan.” kata teman Saya yang duduk di kursi paling pinggir pas di belakang sopir sambil tertawa, dia sengaja menjawab pertanyaan sebelum di tanya, karena memang tinggal giliran dia yang belum di tanya dari mana asalnya.

Mendengar jawaban teman itu sontak pengemudi Go-Car yang kami naiki mobilnya itu tertawa.

“Disini sedang liburan apa acara pekerjaan?” tanyanya lagi, masih berusaha menggali lebih dalam informasi tentang kami.

“Liburan sambil bekerja pak.” jawab teman yang berasal dari Kalimantan sambil tertawa, kami semua ikut tertawa, karena merasa seperti sedang di Interogasi.

“Satu Perusahaan?” tanya nya lagi masih tertawa sambil terus mengemudi.

“Bukan, cuma kami kebetulan berada di acara yang sama dan punya tujuan yang sama.” kata temanku lagi sambil tersenyum misterius.

“Tujuan apa?” tanyanya lagi sepertinya dia benar-benar ingin tau kegiatan kami di Kota Jogjakarta ini! Kami saling pandang, lalu kembali tertawa berbarengan, membayangkan mungkin pengemudi

transportasi berbasis online  ini sedang berpikir bahwa kami ini adalah sekelompok orang yang punya niat tidak baik pada warga kota Jogjakarta ini.

Setelah tawa kami semua reda, sambil bercanda aku berekata, “Tenang Pak. Tampang kami ini jelas-jelas jauh dari ciri-ciri khas teroris apalagi Preman bayaran yang dibayar untuk membuat kekacauan di tempat ini,”

“Hahaha..”

Tanpa dikomando, Saya dan teman-teman juga Pak sopir yang ramah ini tertawa berbarengan dan seperti lupa kalau kami baru saja berkenalan beberapa saat tadi. Hampir di sepanjang perjalanan waktu kami habiskan untuk bercanda dan tertawa di dalam mobil ini.

“Wah ini menarik sekali ini! Ada empat orang yang berasal dari lembaga dan daerah yang berbeda tapi bisa duduk bersama di dalam satu Mobil ini.” katanya lagi kepada kami disela-sela ketawanya mendengar banyolan kami berempat yang dari tadi ganti-gantian menceritakan hal-hal lucu yang pernah terjadi di daerah asal kami.

“Menariknya dimana?” tanyaku setelah tawaku sedikit reda.

“Bhineka Tunggal Ika, seperti semboyan Negara kita.” katanya lagi sambil tersenyum melihat ke arah kami melalu kaca Spion di dalam Mobil ini.

“Saya dan Mas – mas semua ibarat Filosofi Lima Jari di dalam ukhuwah Islamiyah.” katanya lagi sambil memperlihatkan ke lima jari tangannya.

“Ada lima golongan yang kalau saja mereka mau bersatu, ibarat lima jari ini, maka semua perkara bisa terselesaikan dengan sempurna jika masing-masing golongan itu mengerti dan tau apa yang menjadi hak dan tanggung jawab dari golongannya.

Yang pertama adalah Jari jempol, ini adalah simbol pemimpin. Dia yang utama dan induk dari ke Empat jari lain-nya. Dan jempol ini adalah simbol pejabat. Kenapa ini identik dengan simbol pejabat? Karena jempol biasanya identik dengan persetujuan, kebagusan, dan sifat baik lainnya.

Bukankah biasanya Pemimpin itu biasanya menjadi tokoh sentral untuk urusan setuju dan tidak setuju pada sebuah keputusan? Pimpinan juga merupakan patron, dimana apa yang biasanya dianggap baik oleh pemimpin, juga di ikuti oleh orang-orang yang di pimpinnya? Coba angkat jempol untuk menyatakan rasa setuju, maka keempat jari yang lain pasti akan menunduk.” Katanya lagi sambil mengacungkan jempol tangannya.

“Betul juga,” pikirku sambil melihat ke arah teman-temanku.

“Yang kedua adalah Jari telunjuk, ini adalah simbol dari orang-orang kaya. Sebab budaya orang kaya biasanya menunjuk. Jika butuh apa-apa, orang kaya biasanya tinggal tunjuk karena dia punya kekuatan.

Dengan harta yang dia miliki, orang kaya atau yang memiliki dana bisa mengatur keputusan seorang pemimpin untuk setuju atau tidak setuju akan suatu masalah. Sekarang coba tunjuk sesuatu. Ketika sedang menunjuk maka ibu jari akan menekan ketiga jari lainnya untuk tunduk.

Yang ketiga adalah Jari Tengah, Ini adalah simbol Ulama. Posisinya di tengah. Jari tengah merupakan jari yang paling tinggi di antara kelima jari lainnya, akan tetapi setiap kali kita akan makan menggunakan tangan, atau mengambil suatu barang, secara anatomis jari tengah akan menarik diri menjadi sejajar dengan empat jari lainnya. Itulah perlambang kebijakan jari tengah, begitulah sebaiknya seorang ulama atau tokoh agama.

Jari tengah tidak ke kiri dan tidak ke kanan. Memang begitulah sebaiknya ulama. Dia tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Posisi ulama itu berada ditengah-tengah umat. Sebab disitulah lapangan perjuangannya. Di situlah habitatnya. Maka jangan coba meninggalkan habitat kalau tidak mau tuntunannya hanya akan jadi tontonan umatnya.

Keberadaan ulama ditengah-tengah umat, laksana Harimau di tengah hutan. Keduanya saling membutuhkan. Hutan perlu Harimau untuk menjaganya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Dan Harimau perlu hutan, karena di situlah dia lebih berwibawa. Sebab jika Harimau sudah berada di dalam kandang kebun binatang, maka dia sudah menjadi barang tontonan yang sudah tidak memiliki daya apa-apa.

Yang keempat adalah Jari Manis, Ini simbol remaja. Dimana segala sesuatunya tidak lepas dari unsur “manis”. Senyum manis, wajah manis, suara manis, dan segala yang manis - manis. Sekali lagi coba kita lihat. Pernah coba mengangkat jari manis? Bisakah dia dengan sempurna berdiri tegak? Ternyata sulit bukan? Itulah ibarat masa remaja. Pada masa itu, para remaja merasa sudah bisa mandiri, tidak mau diatur, maunya bebas, lepas tanpa aturan, padahal sesungguhnya dia masih memerlukan topangan dari orang tua, guru dan orang – orang lain di sekitarnya.

Yang kelima adalah jari Kelingking, dalam susunan lima jari kita. Kelingking ini adalah simbol kaum perempuan. Mohon maaf bukan bermaksud menyinggung kaum Hawa, karena ini hanyalah sekedar simbol. Kelingking ini kecil, mungil tapi “fungsional”. Justru karena kecilnya, dia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh ke Empat jari lain. Biarpun kecil, kelingking ini “menangan”. Coba ingat ketika kita suit, kelingking bertemu jempol maka yang menang adalah kelingking. Hehehe…

Artinya apa? Meskipun kecil, tapi kaum wanita bisa ”merayu” para pemimpin. Sejarah telah membuktikan, bahwa puluhan laki-laki perkasa bisa terjatuh di kaki kaum wanita. Maka sebenarnya betapa hebatnya peran kaum wanita ini untuk menentukan masa depan dan peradaban suatu bangsa.

Kalau semua unsur jari ini bisa bersatu, maka pekerjaan apa yang tidak bisa dilakukan? Dari sekedar bersalaman, menulis, menggaruk, membelai, memijit, memukul, mengangkat sesuatu, menggenggam hingga melempar, semuanya bisa dilakukan dengan sangat mudah. Begitu juga umat ini. Jika kelima unsur di atas bisa saling mengisi dan saling menjaga antara satu dengan yang lainnya, maka tidak ada ada permasalahan umat yang tidak bisa diselesaikan.” katanya lagi sambil mengakhiri ceritanya.

Untuk sesaat kami diam, asik dengan pikiran masing-masing. Sambil menikmati alunan musik di dalam mobil. Sore ini kami menikmati lagu milik Kla Project, di sore menjelang malam. Mobil yang kami tumpangi terus berjalan menyusuri jalanan kota Yogyakarta setelah tadi siang Pak Sopir yang baik ini memutuskan untuk menemani kami dan mematikan aplikasi Mobilnya agar lebih bebas mengantarkan kemanapun kami pergi menyusuri jalanan kota ini.

 

 


 

 Kembali

© Ruangmenulis.com, All rights reserved.